Hari itu, sabtu 15 Juni 2013, kaki kami berayun selangkah demi selangkah. Sekali tapak,kaki kanan maju berganti kaki kiri. Lima jam berlalu, nafas kami mulai tersendat-sendat, gelap mulai meliputi desa Cibeo. Anak-anak dan para pemuda tanpa beralaskan kaki pulang dari ladang.
Setelah 1,5 kilo berjalan dari diperbatasan baduy luar-dalam, kami mulai melihat sederetan lumbung-lumbung padi dengan bentuk dan ukuran yang sama. Nampak beberapa Saung diujung ladang tempat istirahat petani. Suara jangkrik mulai terdengar. Riak air melantunkan suara alam. Pepohonan tinggi yang hijau terang itu mulai menggelap.
Sinar mentari mulai bersembunyi, berganti dengan gemuruh suara petir menandakan sang hujan akan turun bercumbu dengan bumi. Jalanan berbatu yang disusun rapi mengantarkan kami memasuki perkampungan. Beberapa ekor ayam menyambut kami, yak disini ga ada sapi, kambing maupun kerbau, karena ternak berkaki empat tidak diperbolehkan bagi suku baduy.
Pakaian penduduknya sederhana, hanya ada hitam atau putih. Seperti kehidupan mereka semua hanya tentang hitam dan putih. Tidak seperti kita yang penuh warna warni. Mereka hidup dalam kepolosan dan kesederhanaan.